Meduk Hotdiatmo Sinamo
Njuah-juah
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya
lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga
yang berbunyi Manik entah dari Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo
Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan
“manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.
Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari
India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu
berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka
sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk
marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.
Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka
juga berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona
yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai
Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka
mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang adalah nama yang
dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang
terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun
kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari
marga Sigalingging,gimana bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas
bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika
memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak
Toba dewasa ini.
Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana
saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu.
Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang
bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan
Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai
seorang Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari
sini menurunkan marga Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen
dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan
mmbentuk Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga
Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
Asal-usul dan persebaran orang Pakpak
Pakpak biasanya dimasukkan sebagai bagian dari etnis Batak,
sebagaimana Karo, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Orang Pakpak dapat
dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek
bahasanya, yakni (Berutu dan Nurani, 2007:3–4):
Meskipun oleh para antropolog orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai
salah satu subetnis Batak di samping Toba, Mandailing, Simalungun, dan
Karo. Namun, orang-orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang
asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal tersebut sumber-sumber tutur
menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin,1999/2000:16):
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang
mengandung unsur keindiaan (Lingga, Maha, dan Maharaja), boleh jadi di
masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak
dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya
dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat
untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka pengamatan terhadap
produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan
untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat
terjadinya kontak, dan bentuk kontak yang bagaimanakah yang
mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak sebagaimana
adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan untuk
menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.
Jejak Hindu-Buddha dalam kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Pakpak,
masyarakatnya meyakini bahwa alam raya ini diatur oleh Tritunggal Daya
Adikodrati yang terdiri dari Batara
Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
“O…pung…! Ko Batara Guru, Beraspati ni tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati dan Batara Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati merupakan adopsi dari kata Wrhaspati yang berarti nama/sebutan purohita (utama/pertama)
bagi para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa
tertinggi atau yang dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh) dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
Penyebutan Batara
Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Kata adopsi lain yang juga tampil dalam mantra orang-orang Pakpak
adalah dalam mantra menolak mimpi buruk (Siahaan dkk.,1977/1978:150):
Hung, pagari mo kita
Da hompungku
Hompung ni pangir …
Kata Hung dalam mantra penolak mimpi buruk pada tradisi Pakpak di atas adalah pelafalan lain dari kata Hum yang sering digunakan dalam mantra-mantra Hindu maupun Buddha. Dalam kitab suci Hindu yakni Weda, kata Hum adalah
mantra bagi Agni, sang dewa api, sehingga mantra ini digunakan saat
dilakukan upacara persembahan kepada api suci. Selain itu juga digunakan
untuk memanggil atau membangkitkan api sehingga nyalanya lebih kuat. Hum juga
merupakan representasi dari jiwa dalam diri mahluk, sekaligus wujud
keberadaan Dewa di dunia. Melalui pelafalannya manusia berharap
sifat-sifat kedewaan merasuk ke dirinya sekaligus memberikan kesadaran
jiwa akan keberadaanNya. Di samping sebagai mantra yang ditujukan pada
Agni sang dewa api, Hum juga merupakan mantra bagi Dewa Siwa
serta Chandika (perwujudan lain dari Kali sang dewi maut). Pelafalannya
bertujuan untuk menghancurkan hal-hal negatif sekaligus menciptakan
kekuatan dan kemauan yang besar. Sedangkan dalam agama Buddha Hum merupakan salah satu kata dalam mantra bagi Boddhisatva Avalokitesvara yang teksnya sebagai berikut: Om Mani Padme Hum. Kata ini juga dipakai bagi dewa lainnya dalam Buddhisme yakni bagi Jambala Putih yang teksnya sebagai berikut: Om Padma Corda Arya Jambhala Setaya Hum Phet.
Mantra-mantra sebagai salah satu wujud budaya yang intangible dalam kebudayaan Pakpak biasanya dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk kerja (horja dalam bahasa Batak Toba atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia) yakni, kerja baik dan kerja njahat. Kerja baik adalah
segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira
seperti, keberhasilan panen, pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya
Kerja Njahat adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti kematian (Berutu,2007:8).
Hal-hal yang berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder), dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni (Siahaan dkk.,1977/1978:92–94):
Anak yang baru lahir yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan
dekat rumah tanpa diketahui oleh orang lain, karena takut diambil orang
lain, dijadikan guna-gunaan.
Orang yang meninggal dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate
ntalpok (mati belum berketurunan)
Seorang yang meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum.
Bagi orang yang meninggal tapi sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang.
Salah satu bagian penting dalam ritus mati cayur tua adalah Menuntung Tulan (upacara pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga Penahangken (meringankan), sebab tujuan dilaksanakannya adalah untuk meringankan beban roh mendiang (Berutu, 2007:30).
Upacara ini dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi)
yang seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban
yang berat, sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila
tidak maka jiwa/roh mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada
keturunannya (Berutu,2007:30).
Peralatan yang dibutuhkan dalam upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar) yang dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi), kain putih pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal wadah bagi tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah segala persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru, dan Sinina)
berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan pada waktu pagi hari, agar
roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga agar sanak kerabatnya
nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari (Berutu,2007:31).
Setelah api padam, secara hati-hati keluarga mengambil abu dan
sisa-sisa tulang yang telah dibakar. Abu dan sisa-sia tulang itu
kemudian dibungkus dengan kain putih lalu dibawa ke tempat pertulanen (lesung batu). Namun, ada kalanya abu dan sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di rumah sukut (Berutu,2007:32).
Upacara sejenis juga dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya
hingga awal abad ke-20 yang lalu. Jenis upacara ini hingga kini masih
dilakukan oleh masyarakat Bali, yang disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben) dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi. Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben disebut sebagai pratima.
Selain dalam upacara adat, pengaruh Hindu-Buddha (India) juga hadir
dalam sistem waktunya. Sebelum kedatangan pengaruh Islam dan Kristen
sistem kala yang dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut.
Berikut adalah nama-nama hari dalam 1 bulan (Siahaan dkk.,1977/1978:68):
15. Tula 30. Kurung
Bandingkan penyebutan nama 7 hari pertama dalam 1 bulan pada
tradisi Pakpak di atas dengan penyebutan nama hari dalam siklus 7 hari (saptawara)
pada prasasti-prasasti Jawa Kuna yang sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan India (Hindu-Buddha) sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245
Berbeda dibandingkan nama-nama hari dalam tradisi Pakpak yang
dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha, penyebutan nama-nama bulan mereka
lebih bersifat pribumi:
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245; Toba & Karo: Voorhoeve,1972:495
Sebagaimana tampak pada tabel di atas, nama-nama bulan dalam
tradisi Pakpak jelas merupakan tradisi setempat yang didasarkan pada
perhitungan kaum tani sebagaimana juga dikenal di Jawa hingga kini.
Bedanya, di Jawa dahulu juga dikenal nama-nama bulan yang merupakan
adopsi dari bahasa Sanskerta, sebagaimana puak-puak lain di sekitar
Pakpak seperti Toba dan Karo pernah mengenalnya.
Data lain yang juga dapat dijadikan fakta adanya pengaruh India
(Hindu-Buddha) dalam kebudayaan Pakpak adalah pada wujud budaya yang tangible, antara lain dalam wujud patung.
Di beberapa daerah di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat hingga kini
masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional Pakpak. Salah satu bentuk
rumah tradisional mereka dikenal sebagai rumah jojong. Rumah jojong berarti rumah yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata, yakni rumah dan jojong yang berarti menara. Jojong ditempatkan di tengah-tengah bubungan atap yang melengkung (denggal). Hanya raja dan keluarganya yang menempati rumah jenis ini (Siahaan dkk.,1977/1978:121). Salah satu hal menarik dari rumah jojong adalah keberadaan bentuk kepala manusia di bagian atas pintu masuk yang dalam istilah seni hias Toba disebut sebagai jenggar.
Jenggar yang terdapat di rumah jojong milik
keluarga Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitelu Tali
Urang Julu ini berbentuk kepala manusia bermahkota dengan hiasan
menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih
lanjut terhadap jenggar pada rumah tradisional Pakpak ini
menunjukkan adanya kemiripan dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu
berbahan perunggu dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India; serta
bagian kepala arca perunggu Siwa Nataraja juga dari Tanjore, negara
bagian Tamil Nadu, India. Bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah bentuk mahkotanya yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta; sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Siwa Nataraja adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanan jenggar
yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa Nataraja yang digambarkan
terurai di sisi kiri dan kanan kepalanya. Kedua arca pembanding dari
Tanjore tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M, masa kekuasaan
Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam Chola ternyata ditemukan juga di daerah lain
di Sumatera Utara, antara lain adalah arca batu Buddha yang ditemukan di
situs Kota Cina, Medan; arca batu Wisnu dan Lakshmi juga dari situs
Kota Cina, Medan; dan arca perunggu Lokanatha dari Gunung Tua, Padang
Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan contoh-contoh pembanding itu,
tentunya bentuk jenggar dari rumah jojong di Pakpak Bharat itu mengambil prototipenya dari arca-arca berlanggam Chola di atas.
Wujud tri matra lain yang juga merupakan hasil adopsi dari India adalah patung angsa yang banyak ditemukan di kompleks-kompleks mejan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satu di antaranya adalah patung angsa yang terdapat di kompleks mejan Bancin
di Desa Penanggalan Binanga Boang, tepatnya 55 m arah barat dari Sungai
Ordi yang secara astronomis berada pada 02° 31′ 29,5” LU dan 098° 19′
55” BT. Patung keempat berbentuk angsa, dengan panjang: 30 cm, lebar: 25
cm, tinggi: 53 cm. Patung ini digambarkan dalam posisi berdiri pada
suatu batur, kedua sayap terkatup rapat pada badannya. Bagian leher
hingga kepala telah hilang. Patung ini berfungsi sebagai tutup satu batu
pertulanen (wadah abu/sisa-sisa jenazah) berbentuk silinder yang berada tepat di bawahnya.
Angsa bukanlah binatang endemik di Kepulauan Nusantara, populasinya
yang asli tersebar di daerah subtropis bagian utara dan selatan.
Spesies angsa yang ditemukan di bumi bagian utara mempunyai bulu
menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies angsa di bumi bagian
selatan yang memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Binatang ini secara
zoologi termasuk dalam filum Chordata, kelas Aves, ordo Anseriformes,
dan familia Anatidae yang terdiri dari 6 spesies yakni: Cygnus olor, daerah sebarannya di Eurasia; Cygnus atratus (angsa hitam), daerah sebarannya di Australia; Cygnus melancoryphus, daerah sebarannya di Amerika Selatan; Cygnus cygnus, daerah sebarannya di sub-artik Eropa dan Asia; Cygnus buccinator, daerah sebarannya di Amerika Utara; dan Cygnus columbianus, yang daerah sebarannya di Eropa dan Amerika Utara. Dari keenam spesies angsa tersebut dua di antaranya yakni Cygnus olor dan Cygnus cygnus hidup
di benua Asia, namun tidak ada di Asia Tenggara daratan maupun
kepulauan. Hal ini berarti angsa diperkenalkan atau dibawa ke Kepulauan
Nusantara seiring terjadinya kontak budaya antara penduduk pribumi
Nusantara dengan para pendatang dari daratan Asia seperti Cina atau
India.
Dikenalnya angsa oleh orang-orang Pakpak di masa lalu sebagaimana
terwujud dalam bentuk patung adalah hasil kontak mereka dengan para
pendatang dari India yang beragama Hindu atau Buddha. Dalam ikonografi
Hindu angsa adalah wahana (tunggangan) dari salah satu Trimurti yakni
Brahma, Sang Pencipta alam semesta sedangkan dalam ikonografi Buddha
angsa adalah tunggangan Saraswati, Sang Dewi ilmu pengetahuan.
Keberadaan patung angsa sebagai tutup bagi wadah abu dan sisa-sisa
tulang jenazah (batu pertulanen) dapat dikaitkan dengan konsep
dalam Hindu bahwa Brahma adalah Sang Pencipta. Angsa sebagai wahana
Brahma dapat dianggap sebagai simbol pelepasan mendiang -yang sisa-sisa
jasadnya tersimpan di batu pertulanen- menuju Sang Pencipta.
Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya
Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya.
Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu
adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan
tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah
bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang
menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka
–terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua,
yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010
Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13
hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut
Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik
(Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga
banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/
Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah
Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat
di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni
Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di
Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu
tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan
sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak
dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera
dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan,
namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting
bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah
pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan
sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara
daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan
Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta
Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga
yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di
daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan
Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan
kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat Sumatera. Selain
pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan daerah
pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh
masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang
dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi
adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh
terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan
kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang
terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat berupa
(Haviland,1988:263):
Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut,
akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur. Percampuran atau
asimilasi terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing
dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi terjadi bila suatu kebudayaan
kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai identitas subkultur,
seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis (Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi
merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan
orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak
telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang
dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak
memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah
sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha
masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya
agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya
telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada
sebelumnya.
Bentuk-bentuk seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli
pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat
dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong,
kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
Sedangkan pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati)
tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan
derajatnya menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam
kehidupan orang-orang Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di
Jawa pada masa pulau ini masih dipengaruhi sistem kepercayaan
Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat
bukti bahwa kepercayaan lama yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin
menguat. Pembuatan candi-candi dan arca-arcanya tidak lain sebenarnya
adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja yang telah menyatu dengan
dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain dan tidak
bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang belum
sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada
orang-orang Pakpak dahulu.
Penutup
Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak seperti kepercayaan lewat
nama-nama dewa, penanganan jenazah (pembakaran sisa jenazah);
bentuk-bentuk trimatra pada patung angsa dan jenggar;
maupun penyebutan nama-nama satuan kala/waktu, merupakan buah dari
kontak dagang Pakpak dengan India. Tempat-tempat yang diduga merupakan
titik kontak antara masyarakat Pakpak pada masa lalu dengan para
pendatang dari India (khususnya Tamil/India bagian selatan) antara lain
adalah Barus, Padang Lawas, dan Kota Cina. Khususnya Barus merupakan
bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India
terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M
atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya
kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini.
Pakpak, Riwayatmu kini…..
Masyarakat Pakpak merupakan suatu kelompok suku bangsa yang terdapat
di Sumatera Utara. Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanoh Pakpak.
Tanoh Pakpak terbagi atas sub wilayah yakni: Simsim, Keppas, Pegagan
(Kab Dairi), Kelasen (Kec. Parlilitan – Humbahas) dan Kec. Manduamas
(Tapteng) Serta Boang (Aceh Singkel). Dalam administratif di 5 Kabupate ,
yakni: Kab Pakpak Bharat, Kab Dairi, Kab Humbang Hassundutan, Kab
Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dan Kab Singkel (NAD). Maka sejak di
bentuknya Kabupaten Pakpak Bharat maka penduduknya boleh dikategorikan
homogen dan walaupun tanoh Pakpak tersebut secara wilayah administratif
terpisah, namun secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena
berbatasan langsung walaupun hanya bagian bagian kecil dari wilayah
kabupaten tertentu, kecuali Kabupaten Pakpak Bharat menjadi sentra utama
orang Pakpak. Kesatuan komunitas terkecil yang umum di kenal hingga
saat ini disebut Lebuh dan Kuta. Lebuh merupakan
bagian dari Kuta yang di huni oleh klen kecil sementara kuta adalah
gabungan dari lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga)
tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga
tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tertentu
dikategorikan sebagai pendatang. Selain itu orang Pakpak menganut
prinsip Patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan
pembentukan klen (kelompok kekerabatan)nya yang disebut marga. Dengan
demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan diperuntukkan
untuk anak laki-lakisaja. Bentuk perkawinannya adalah eksogami marga,
artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan
orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sebagai
sumbang (incest)Dalam kajian-kajian yang ada Pakpak sering dikelompokkan menjadi sub etnis Batak, tetapi dalam artikel ini digunakan konsep masyarakat Pakpak karena istilah Batak terlalu umum atau general pada hal substansi kebudayaannya berbeda satu sama lain. 2. Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Suku Bangsa Pakpak Hingga artikel ini dituliskan belum ditemukan bukti yang atutentik dan pasti tentang asal usul dan sejarah persebarang orang Pakpak. Hasil penelitiann ang dilakukan menunjukkan beberapa variasi. Pertama dikatakan bahwa orag Pakpak berasal dari India selanjutnya masuk ke pedalaman dan beranak pinak menjadi orang Pakpa. Versi lain menyatakan orang Pakpak berasal dari etnis Batak Toba dan yang laiin menyatakan orang Pakpak sudah ada sejak dahulu. Mana yang benar menjadi relatif karena kurang didukung oleh fakta-fakta yang objektif. Alasan dari India misalnya hanya didasarkan pada adanya kebiasaan tradisional Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan tanoh Pakpak. Alasan Pakpak berasal dari Batak Toba hanya adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan nama-nama marga. Sedangkan alasan ketiga yang menyatakan dari dahulu kala sudah ada orang Pakpak hanya didasarkan pada folklore di mana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni zaman Tuara (Manusia Raksasa). zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien). Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yakni: Pakpak Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing sub ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marga yang secara administratif tidak hanya tinggal atau menetap di wilayah Kabupaten Dairi (sebelum dimekarkan), tetapi ada yang di Aceh Singkil, Humbang Hasundutan (sebelum dimekarkan dari Tapanuli Utara) dan Tapanuli Tengah. Pakpak Simsim, Pakpak Keppas dan Pegagan secara administratif berada di wilayah kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, sedangkan Pakpak Kelasen berada di kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah Khususnya di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Manduamas. Berbeda lagi dengan Pakpak Boang yang menetap di wilayah kabupaten Singkil, khususnya di Kecamatan Simpang Kiri dan Kecamatan Simpang Kanan. Marga-marga Pakpak yang termasuk Pakpak Simsim, misalnya: marga Berutu, Padang, Bancin, Sinamo, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng, Cibro, dan lain-lain. Marga Pakpak Keppas misalnya: marga Ujung, Capah, Kuda diri, Maha dan lain-lain. Marga Pakpakkelasen misalnya: Tumangger, Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Ceun, Mungkur dan lain-lain. Marga Pakpak Boang, misalnya: Saraan, Sambo, Bacin dan lain-lain. 3. Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pakpak Hasil-hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa masyarakat Pakpak memiliki sejumlah nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkunan. Usman Pelly (1987: 269) menyatakan bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabuyang selalu dipatuhi. Lebih lanjut Zuraida dkk, (1992) menyatakan bahwa orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Kedua ahli ini belum menjelaskan secara eksplisit tabu-tabu dan aturan-aturan yang kondusif terhadap konservasi alam. Penelitian lebih lanjut oleh penulis membuktikan pernyataan kedua ahli tersebut. Kearifan dalam konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu dan upacara terutama kegiatan yang berhubungan langsung dengan alamseperti dalam sistem ladang berpindah, mencari damar, berburu, dan meramu dan pengelolaan hutan kemenyaan. Selain itu berhubungan dengan kepercayaan tradisional di setiap lebih dan kuta ditemukan atau dikenal adanya area-area yang pantang untuk di ganggu unsur biotik dan abiotik yang ada di dalamnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki mana. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, Simbernaik (sejenis pohon penyubur tanah). Jenis binatang yang jarang diganggu isalnya monyet, kera dan harimau. Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan gaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama-agama besar seperti Islam danKristen, tetap dianggap keramat danmempunyai kekuatan sehingga kalau diganggu dapat berakibat terhadap keselaman baik secaralangsung maupun tidak langsung (Berutu, 1994; 1996; 1997;1998; 1999). Disadur dari Buku: Aspek-Aspek Kultural Etnis Pakpak (sebuah eksplorasi tentang potensi lokal) Penerbit Monora Medan : Lister Berutu, Pasder Berutu, Mariana Makmur. Cetakan Pertama 2002 Marga Pakpak
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
njuah-juah mo banta karina |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar